Rabu, 17 Maret 2010

Sahabat Setapak (siklus 2_revisi)

Oleh Siti Masrifah

Sudah hampir satu tahun mamaku meninggal. Aku pun sekarang sudah dapat melupakan kesedihan itu. Kematian ibuku sangat menyakitkan bagiku. Apalagi ketika ayahku mengatakan padaku bahwa ia akan menikah lagi, hatiku sangat perih. Hatiku bagaikan rusak lalu teriris sembilu. Aku takut kalau ibu tiri itu jahat. Tapi setelah ku tahu tentangnya aku dapat menerimanya. Bahkan kurasa ia sangat perhatian padaku.

“Sandra, kamu sudah makan, sayang ?” tanya ibu.
“Belum, Bu,” jawabku. Aku memang tidak pernah memanggilnya mama, untuk membedakan antara mamaku dan ibuku. Dan ia pun mmakluminya, demi melupakan kesedihanku.
“Makan ya? Ibu ambilkan.”
“Makasih bu. Tapi biar Sandra ambil sendiri, Bu.”
“Ya sudah. Nanti setelah makan, belajar ya, sayang,” nasehatnya.

Ibu sangat sayang padaku. Tidak jarang ia menemaniku belajar tiap malam, bahkan ia sering mengajariku PR hingga larut malam, belum lagi ditambah nasehat – nasehat kasih sayangnya. Tapi itu dulu, ketika baru beberapa bulan menikah dengan ayah. Sekarang ibu sangat kejam padaku, terutama ketika ayah tidak berada di rumah. Kurasa ibu sangat tidak suka dengan semua perbuatanku.
“Sandra, kamu itu sebenarnya bisa masak atau tidak…?! Rasanya kok tidak karuan begini!” Bentaknya ketika aku membantunya memasak. Menurutku masakannya biasa, tidak kurang bumbunya ataupun yang lainnya.
“Sepertinya sudah pas kok, Bu.”
“Pas… pas… pas…! Rasanya benar – benar tidak karuan begini,” bentaknya lagi.
Aku hanya bisa diam dan terus mengalah setiap berdebat dengannya. Apalagi terkadang ibu mengadukannya pada ayah bahwa aku telah berani melawannya. Seperti saat ini ketika ayah baru pulang dari kantor.
“Yah, ini lho Sandra berani – beraninya dia melawanku. Tadinya aku ingin mengajarinya memasak, tapi ia tidak mau di kritik bagaimanapun juga,” katanya sinis dengan melirikku.
“Tidak kok Yah, ibu tidak mengajari aku masak…”
“Tu kan dia berani mengelak lagi,” Potongnya.
“Ya sudah, Sandra kamu harus rajin di rumah, ya,?” ayah menengahi kami. Aku hanya menganggukan kepala tanda setuju.

Ku dengar ayah batuk – batuk. Aku kasihan melihatnya.
“Ayah kalau sakit istirahat saja,” Ibu menganjurkan.
“Tidak usah. Panggilkan Sandra,” Pinta ayah.
Ibu menuruti permintaannya. Aku pun menurutinya.

Ayah merebahkan diri di kasur yang tak seberapa bagus itu. Kasur yang keras dan membuat pegal – pegal yang menempatinya. Aku tahu gaji ayah lebih dari cukup untuk merubah rumah butut kami menjadi mewah, tapi aku pun tahu ayah tudak suka bermewah – mewah. Uang gajinya ditabung. Rumah kami hanya terbuat dari kayu jati yang terukir dengan indah.
“Sandra…,” Ucap ayah terbata. Aku mendekat.
“Bu… Nak… mungkin hidup ayah sebentar lagi. ayah serahkan semua warisan ayah di tanganmu, Sandra,” kata ayah padaku dan ibu, waktu itu. Aku meneteskan air mata.
“ Ayah tidak boleh bicara begitu,” ucapku.
Ayah menggelengkan kepala.

***
ibuku sepertinya ingin membunuhku sejak saat itu. Ia tidak ingin harta ayah berada di tanganku. Aku melarikan diri dari rumah. Tampaknya a menyuruh dua orang bayaran untuk membunuhku. Aku terus berlari untuk menghindarinya. Tapi kurasa tenagaku tidak cukup untuk menandingi larinya. Aku menoleh kebelakang. Mereka sudah dekat.
“Hai! Anak ingusan! Berhenti kau!,” teriak salah satu suruhan itu. Tampang mereka sangat mengerikan. Tampangnya sangat criminal.
Aku terus berlari. Ku tengok ke belakang, mereka sudah agak jauh.
Tapi betapa kagetnya aku ketika kurasa aku menabrak seseorang.
“Auh… maaf…,” ucapku dengan terengah – engah. Kulihat seorang gadis sebayaku. Ia sangat cantik. Terlihat ia begitu santai menatapku. Dengan rambut hitam terurai menambah cantiknya.
“Tidak apa – apa. Namaku Dewi. Kamu mau kemana?”
“Aku Sandra. Aku ingin di bunuh ibu tiriku. Dan sekarang ia mengirim dua orang suruhan untuk mengejarku,” ungkapku. Aku memegangi tangannya. Aku mungkin tampak hendak berlari.
“kamu hendak kemana?” tanyanya lagi. Aku terdiam.
“Ayo kita lewat sini saja!” ajaknya. Mungkin ia tahu perasaanku. Aku hanya dapat menurut mengikutinya.
“kamu santai saja,” tenangnya.
“Tapi bagaimana jika mereka mengejarku?” Aku cemas.
“tenanglah. Mungkin mereka belum mengenal daerah in.i”
Kami melewati sebuah jalan setapak.Aku sudah dapat tenang dan aku menceritakan semua yang ku alami. Ternyata ia juga enak diajak curhat dan ngobrol. Orangnya asyik.

***
Tak terasa kami sudah sampai diujung jalan setapak itu. Aku melihat jalan raya di sana.
“Kamu sudah tenang kan?” tanyanya. Aku melihat ke belakang. Dua orang suruhan itu tidak tampak.
“ Ya, terima kasih.”
Dia hanya menganggukan kepala seraya tersenyum.

Dia membalikkan badan meninggalkanku tanpa bicara sepatah katapun. Aku heran melihatnya. Mengapa ia kembali ke jalan setapaqk tadi?. Batinku. Aku memandangnya sampai ia tidak terlihat lagi tertutup enggokan jalan.

Aku pun membalikan badan ke arah jalan raya.
“Neng…,” Seorang tukang becak mengagetkanku.
“neng dari mana?” lanjutnya.
“Saya dari Desa Rabak, Mang,” ucapku.
“Neng bertemu dengan Dewi?”
“Ya, kok Mamang tahu?”
“Neng anak tiri ya?” tebaknya lagi. Aku menganggukan kepala. Aku heran mengapa ia tahu semuanya.
“Mengapa mamang tahu?” tanyaku penuh penasaran.
“Lihatlah jalan yang kamu lewati tadi!” suruhnya dengan mengacungkan jari telunjuknya. Aku menengoknya. Betap[a terkejutnya aku. Jalan yang aku lewati tadi adalah pemakaman. Kuburan berjejer – jejer disana.
“Dewi adalah anak yang baik. Dia korban pembunuhan ibu tiri. Ia akan membantu semua anak tiri yang kesulitan” jelas mamang tukang becak itu. “ kamu tahu kamu sudah berjalan berapa meter?” lanjutnya. Aku menggeleng tanda tidak tahu.
“sekitar 120 kilo,” ucapnya.
“Apa…?!” aku melongo. Mamang itu tak menghiraukan raut mukaku yang sangat heran.
“Sekarang Neng mau ke mana?”
“Saya tidak tahu.”. Aku mengeleng lemah.
“Kamu tinggal di rumah saya saja ya?” tanyanya.
“Tapi bagaimana kalau menyusahkan mamang?” Aklu enggan.
“ Tidak usah enggan pada saya.” Ucapnya. Aku tersenyum. Aku tinggal dirumahnya dan ia menganggapku sebagai anaknya. Dewi adalah sahabat setapakku, yang sesaat tapi penyelamat.