Sabtu, 20 September 2014

about me now

february,empat tahun lalu terakhir kubuka blog ini, sekarang umurku sudah 20 tahun, aku telah menamatkan MA 2013 lalu. jika kau mau tahu kabarku, of course, aku baik. bahkan sangat baik.

Minggu, 18 April 2010

Cinta Tak Kembali (Revisi)

Oleh Siti Masrifah

Sobat, pernahkah kau rindu pada kekasihmu?. Seperti yang kurasakan saat ini. Aku sangat rindu pada kekasihku, sobat. Aku sangat rindu.

Sudah hampir satu tahun Diva, kekasihku, pergi. Aku sangat merindukannya. Aku ingin ia disisiku. Aku ingin ia selalu menemaniku di hari – hariku. Dulu, ia bicara padaku, kalau ia akan pergi sebentar saja. Ia hanya ingin melanjutkan kuliahnya yang kurang satu semester.
“Kak Dim, aku ingin bicara padamu,”ujarnya kala itu. Wajahnya terlihat sendu, hingga akupun ingin menangis memandangnya.
“Mengapa?”
“Aku akan ke luar negeri,Kak.”
“?????????”aku melongo. Aku tak yakin ia akan merantau sejauh itu.
“Aku ingin meraih gelar Doktorku ke luar negeri. Hanya satu semester saja kok.”
“Tapi, waktu 6 bulan bagiku lama, Div.”
“Akupun begitu, Kak. Tapi bagaimana lagi,ayah memaksaku untuk meraih gelar Doktorku di luar negeri.” Aku tak dapat berucap lagi. Apalagi aku hanya kekasihnya, bukan status keluarganya. Aku juga tak begitu akrab dengan orang tuanya. Bahkan, tampaknya orang tuanya tak suka padaku.
“Ok! Tapi, Div, ku harap kamu tak melupakan aku. Rajinlah berhubungan denganku.”
“Itu pasti, Kak. Aku juga berharap nomor ponselmu jangan kau ganti – ganti.agar aku masih dapat menghubungimu.”
“Insya Allah, Div.”
Sejak itulah aku berpisah dengannya, setelah aku menemaninya ke bandara. Tapi, ternyata nomor ponselnya sudah tidak aktif.
Hingga sekarangpun ia tak ke kandang jua. Dan tiada khabar tentangnya pula.

Sering aku menyusuri jalan raya untuk mencarinya. Memang aku hampir gila dibuatnya, sobat. Seperti saat ini, aku berjalan menyusuri jalan raya dan trotoar. Keadaan Jakarta begitu panas. Terbakar kulitku oleh panasnya. Terangnya siang bagai neraka bagiku. Tapi, tidak kala di sampingku ada kekasihku. Malam begitu cerah di mataku ole sinar wajahnya. Panasnya siang akan sejuk oleh senyumnya.

Tak terasa aku menyusuri sudah jauh dari kediamanku. Dan ku rasa suasana disini berbeda. Aku tak tahu apakah aku bermimpi?. Tidak. Aku tidak bermimpi. Lamunku membawaku berjalan jauh dari asalku. Taukah kau, sobat, seberapa jauh aku berjalan?. Mencapai 2 kilo aku berjalan dalam lamunku, sobat.
Triliiiiiiiiiiiiiiit………….triliiiiiiiiiiiit……….
Ponselku berbunyi. Ku raih dari saku jinsku. “new message” tertulis di layar ponselku. Ku buka. Dari Shinta, adikku.

Kak, kakak dimana??? Sejak tadi ku cari tidak ada. Pulanglah segera. Kau dicari ibu.

Pesannya dalam messagenya. Aku segera berbalik arah. Aku yakin pasti ibu dan adikku mencariku sejak tadi. Seandainya ayah sudah pulang pastilah turut mencariku. Aku memang anak l;elaki satu – satunya, sedangkan adikku, Shinta, putri satu – satunya pula. Karna aku hanya memiliki saudara satu, dan akulah yang paling tua. Mungkin karna factor keturunan beranak sedikit, ibuku mengikuti factor itu.

Aku berbalik pulang. Tapi dalam kesadaranku, aku tak dapat berjalan sejauh ini. Mungkin karena tadi aku tidak sadar, aku dapat melaluinya. Aku menghentikan sebuah angkutan. Suasana dalam angkutan saat siang seperti ini sangat tak mengenakkan, sobat. Aku mengambil tempat duduk yang masih kosong. Ku lihat disebelah seorang wanita masih kosong. Dari samping ia nampak cantik. Entahlah sebenarnya aku tak tahu, soalnya ia melihat ke arah luar.
“Maaf, mbak, bolehkah saya...”belum selesai aku berucap, aku terkejut. Gadis yang berada di hadapanku. Gadis manis. Gadis yang aku puja. Gadis yang saat ini memang aku rindukan. “Diva...”
“Kak Dimas!!!”ia terkejut.
“Kau disini?”tanyaku padanya. Ia menampilkan wajahnya yang sendu seperti saat berpisah.
“Maafkan aku,Kak...” air matanya mengalir. Aku ikut sedih melihatnya. Akupun sedih melihat gadis pujaanku menangis.
“Aku sudah menikah,Kak.”
“Maksudmu??????”aku terbelalak. Aku tak yakin akan pendengaranku.
“Aku sudah bersuami,Kak.”
“Kamu tega,Div. Jadi, kamu menghianati cintaku?”
“Maafkan aku,Kak.’ Ia menoleh ke arah seseorang disebelahnya dengan expresi yang menunjukkan sesuatu. “Dialah suamiku,”lanjutnya. Ku lirik lelaki di sebelahnya. Tampangnya seperti tak suka padaku. Seram. Memang begitu.
Ahhhh.....tidakkk.... air mataku pun tak bisa di bendung. Ia membuncah dari mataku. Aku sangat sedih, sobat. Gadis yang aku tunggu sekian lamanya, gadis yang lama aku rindukan, telah menjadi milik orang. Aku tak sanggup, sobat. Tolonglah aku, sobat.

Aku keluar dari angkutan itu. Aku meninggalkannya. Aku tahu dia masih menangis saat ku tinggal. Aku menyetop sebuah taxi. Aku yakin aku lebih nyaman dengan taxi. Sesampai dirumah aku langsung membanting tubuhku diatas ranjang. Aku tak memperdulikan ibu, adik, dan ayahku, yang mungkin sejak tadi mencariku. Masuk rumah aku langsung merebahkan tubuhku di ranjang. Aku terbangun, ketika aku di kagetkan sebuah suara. Ibu. Ya, ibu memasuki kamarku.

“Dim, ini ada sesuatu untukmu,” ibu masuk kamarku, menyodorkan sesuatu. Ku raihnya. Sebuah amplop.
“Dari siapa, Bu?”
“Ibu nggak tahu. Tadi pak pos nggak bilang dari siapa.”
“Ohh,,ya sudah.” Ibuku keluar dari kamarku. Ku buka amplop itu. Surat. Ya, surat. Tak bernama. Ternyata jaman sekarang masih ada surat kaleng. Kubaca.

Maafkan aku,Kak. Aku terpaksa menghianatimu. Aku benar – benar masih mencintaimu,Kak. Bahkan sebenarnya tadi aku ingin menghambur ke pelukanmu. Tapi, karna aku sudah ada yang memiliki, dan ia berada di sampingku, aku mengurungkan niatku. Aku ingin sekali kaulah yang memilikiku, tapi apalah dayaku setelah berhadapan dengan orang tuaku. Aku sudah mencoba mengelak, tapi mereka tetap memaksaku. Seandainya aku masih punya hak untuk membantah orang tuaku, aku akan memilihmu. Orang tuaku benar – benar memaksaku, bahkan suamiku diperintahkannya untuk menemaniku kemana – mana aku pergi. Aku kembali sudah sejak lama, Kak, tapi aku dipingit orang tuaku, mungkin, akulah Siti Nurbaya zaman modern.Sekali lagi, maafkan aku, Kak. By, orang yang pernah kau cintai...

Rabu, 07 April 2010

Cinta Tak Kembali

Oleh Siti Masrifah

Sobat, pernahkah kau rindu pada kekasihmu?. Seperti yang kurasakan saat ini. Aku sangat rindu pada kekasihku, sobat. Aku sangat rindu.

Sudah hampir satu tahun Diva, kekasihku, pergi. Aku sangat merindukannya. Aku ingin ia disisiku. Aku ingin ia selalu menemaniku di hari – hariku. Dulu, ia bicara padaku, kalau ia akan pergi sebentar saja. Ia hanya ingin melanjutkan kuliahnya yang kurang satu semester.
“Kak Dim, aku ingin bicara padamu,”ujarnya kala itu. Wajahnya terlihat sendu, hingga akupun ingin menangis memandangnya.
“Mengapa?”
“Aku akan ke luar negeri,Kak.”
“?????????”aku melongo. Aku tak yakin ia akan merantau sejauh itu.
“Aku ingin meraih gelar Doktorku ke luar negeri. Hanya satu semester saja kok.”
“Tapi, waktu 6 bulan bagiku lama, Div.”
“Akupun begitu, Kak. Tapi bagaimana lagi,ayah memaksaku untuk meraih gelar Doktorku di luar negeri.” Aku tak dapat berucap lagi. Apalagi aku hanya kekasihnya, bukan status keluarganya. Aku juga tak begitu akrab dengan orang tuanya. Bahkan, tampaknya orang tuanya tak suka padaku.
“Ok! Tapi, Div, ku harap kamu tak melupakan aku. Rajinlah berhubungan denganku.”
“Itu pasti, Kak. Aku juga berharap nomor ponselmu jangan kau ganti – ganti.agar aku masih dapat menghubungimu.”
“Insya Allah, Div.”
Sejak itulah aku berpisah dengannya, setelah aku menemaninya ke bandara. Tapi, ternyata nomor ponselnya sudah tidak aktif.
Hingga sekarangpun ia tak ke kandang jua. Dan tiada khabar tentangnya pula.

Sering aku menyusuri jalan raya untuk mencarinya. Memang aku hampir gila dibuatnya, sobat. Seperti saat ini, aku berjalan menyusuri jalan raya dan trotoar. Keadaan Jakarta begitu panas. Terbakar kulitku oleh panasnya. Terangnya siang bagai neraka bagiku. Tapi, tidak kala di sampingku ada kekasihku. Malam begitu cerah di mataku ole sinar wajahnya. Panasnya siang akan sejuk oleh senyumnya.

Tak terasa aku menyusuri sudah jauh dari kediamanku. Dan ku rasa suasana disini berbeda. Aku tak tahu apakah aku bermimpi?. Tidak. Aku tidak bermimpi. Lamunku membawaku berjalan jauh dari asalku. Taukah kau, sobat, seberapa jauh aku berjalan?. Mencapai 2 kilo aku berjalan dalam lamunku, sobat.
Triliiiiiiiiiiiiiiit………….triliiiiiiiiiiiit……….
Ponselku berbunyi. Ku raih dari saku jinsku. “new message” tertulis di layar ponselku. Ku buka. Dari Shinta, adikku.

Kak, kakak dimana??? Sejak tadi ku cari tidak ada. Pulanglah segera. Kau dicari ibu.

Pesannya dalam messagenya. Aku segera berbalik arah. Aku yakin pasti ibu dan adikku mencariku sejak tadi. Seandainya ayah sudah pulang pastilah turut mencariku. Aku memang anak l;elaki satu – satunya, sedangkan adikku, Shinta, putri satu – satunya pula. Karna aku hanya memiliki saudara satu, dan akulah yang paling tua. Mungkin karna factor keturunan beranak sedikit, ibuku mengikuti factor itu.

Aku berbalik pulang. Tapi dalam kesadaranku, aku tak dapat berjalan sejauh ini. Mungkin karna tadi aku tidak sadar, aku dapat melaluinya. Aku menghentikan sebuah angkutan. Suasana dalam angkutan saat siang seperti ini sangat tak mengenakkan, sobat. Aku mengambil tempat duduk yang masih kosong. Ku lihat disebelah seorang wanita masih kosong. Dari samping ia nampak cantik. Entahlah sebenarnya aku tak tahu, soalnya ia melihat ke arah luar.
“Maaf, mbak, bolehkah saya...”belum selesai aku berucap, aku terkejut. Gadis yang berada di hadapanku. Gadis manis. Gadis yang aku puja. Gadis yang saat ini memang aku rindukan. “Diva...”
“Kak Dimas!!!”ia terkejut.
“Kau disini?”tanyaku padanya. Ia menampilkan wajahnya yang sendu seperti saat berpisah.
“Maafkan aku,Kak...” air matanya mengalir. Aku ikut sedih melihatnya. Akupun sedih melihat gadis pujaanku menangis.
“Aku sudah menikah,Kak.”
“Maksudmu??????”aku terbelalak. Aku tak yakin akan pendengaranku.
“Aku sudah bersuami,Kak.”
“Kamu tega,Div. Jadi, kamu menghianati cintaku?”
“Maafkan aku,Kak.’ Ia menoleh ke arah seseorang disebelahnya dengan expresi yang menunjukkan sesuatu. “Dialah suamiku,”lanjutnya.
Ahhhh.....tidakkk.... air mataku pun tak bisa di bendung. Ia membuncah dari mataku. Aku sangat sedih, sobat. Gadis yang aku tunggu sekian lamanya, gadis yang lama aku rindukan, telah menjadi milik orang. Aku tak sanggup, sobat. Tolonglah aku, sobat.

Aku keluar dari angkutan itu. Aku meninggalkannya. Aku tahu dia masih menangis saat ku tinggal. Aku menyetop sebuah taxi. Aku yakin aku lebih nyaman dengan taxi. Sesampai dirumah aku langsung membanting tubuhku diatas ranjang. Aku tak memperdulikan ibu, adik, dan ayahku, yang mungkin sejak tadi mencariku.

“Dim, ini ada sesuatu untukmu,” ibu masuk kamarku, menyodorkan sesuatu. Ku raihnya. Sebuah amplop.
“Dari siapa, Bu?”
“Ibu nggak tahu. Tadi pak pos nggak bilang dari siapa.”
“Ohh,,ya sudah.” Ibuku keluar dari kamarku. Ku buka amplop itu. Surat. Ya, surat. Tak bernama. Ternyata jaman sekarang masih ada surat kaleng. Kubaca.

Maafkan aku,Kak. Aku terpaksa menghianatimu. Aku benar – benar masih mencintaimu,Kak. Bahkan sebenarnya tadi aku ingin menghambur ke pelukanmu. Tapi, karna aku sudah ada yang memiliki, dan ia berada di sampingku, aku mengurungkan niatku. Aku ingin sekali kaulah yang memilikiku, tapi apalah dayaku setelah berhadapan dengan orang tuaku. Aku sudah mencoba mengelak, tapi mereka tetap memaksaku. Seandainya aku masih punya hak untuk membantah orang tuaku, aku akan memilihmu. Orang tuaku benar – benar memaksaku, bahkan suamiku diperintahkannya untuk menemaniku kemana – mana aku pergi. Aku kembali sudah sejak lama, Kak, tapi aku dipingit orang tuaku, mungkin, akulah Siti Nurbaya zaman modern.Sekali lagi, maafkan aku, Kak. By, orang yang pernah kau cintai...

Rabu, 17 Maret 2010

Sahabat Setapak (siklus 2_revisi)

Oleh Siti Masrifah

Sudah hampir satu tahun mamaku meninggal. Aku pun sekarang sudah dapat melupakan kesedihan itu. Kematian ibuku sangat menyakitkan bagiku. Apalagi ketika ayahku mengatakan padaku bahwa ia akan menikah lagi, hatiku sangat perih. Hatiku bagaikan rusak lalu teriris sembilu. Aku takut kalau ibu tiri itu jahat. Tapi setelah ku tahu tentangnya aku dapat menerimanya. Bahkan kurasa ia sangat perhatian padaku.

“Sandra, kamu sudah makan, sayang ?” tanya ibu.
“Belum, Bu,” jawabku. Aku memang tidak pernah memanggilnya mama, untuk membedakan antara mamaku dan ibuku. Dan ia pun mmakluminya, demi melupakan kesedihanku.
“Makan ya? Ibu ambilkan.”
“Makasih bu. Tapi biar Sandra ambil sendiri, Bu.”
“Ya sudah. Nanti setelah makan, belajar ya, sayang,” nasehatnya.

Ibu sangat sayang padaku. Tidak jarang ia menemaniku belajar tiap malam, bahkan ia sering mengajariku PR hingga larut malam, belum lagi ditambah nasehat – nasehat kasih sayangnya. Tapi itu dulu, ketika baru beberapa bulan menikah dengan ayah. Sekarang ibu sangat kejam padaku, terutama ketika ayah tidak berada di rumah. Kurasa ibu sangat tidak suka dengan semua perbuatanku.
“Sandra, kamu itu sebenarnya bisa masak atau tidak…?! Rasanya kok tidak karuan begini!” Bentaknya ketika aku membantunya memasak. Menurutku masakannya biasa, tidak kurang bumbunya ataupun yang lainnya.
“Sepertinya sudah pas kok, Bu.”
“Pas… pas… pas…! Rasanya benar – benar tidak karuan begini,” bentaknya lagi.
Aku hanya bisa diam dan terus mengalah setiap berdebat dengannya. Apalagi terkadang ibu mengadukannya pada ayah bahwa aku telah berani melawannya. Seperti saat ini ketika ayah baru pulang dari kantor.
“Yah, ini lho Sandra berani – beraninya dia melawanku. Tadinya aku ingin mengajarinya memasak, tapi ia tidak mau di kritik bagaimanapun juga,” katanya sinis dengan melirikku.
“Tidak kok Yah, ibu tidak mengajari aku masak…”
“Tu kan dia berani mengelak lagi,” Potongnya.
“Ya sudah, Sandra kamu harus rajin di rumah, ya,?” ayah menengahi kami. Aku hanya menganggukan kepala tanda setuju.

Ku dengar ayah batuk – batuk. Aku kasihan melihatnya.
“Ayah kalau sakit istirahat saja,” Ibu menganjurkan.
“Tidak usah. Panggilkan Sandra,” Pinta ayah.
Ibu menuruti permintaannya. Aku pun menurutinya.

Ayah merebahkan diri di kasur yang tak seberapa bagus itu. Kasur yang keras dan membuat pegal – pegal yang menempatinya. Aku tahu gaji ayah lebih dari cukup untuk merubah rumah butut kami menjadi mewah, tapi aku pun tahu ayah tudak suka bermewah – mewah. Uang gajinya ditabung. Rumah kami hanya terbuat dari kayu jati yang terukir dengan indah.
“Sandra…,” Ucap ayah terbata. Aku mendekat.
“Bu… Nak… mungkin hidup ayah sebentar lagi. ayah serahkan semua warisan ayah di tanganmu, Sandra,” kata ayah padaku dan ibu, waktu itu. Aku meneteskan air mata.
“ Ayah tidak boleh bicara begitu,” ucapku.
Ayah menggelengkan kepala.

***
ibuku sepertinya ingin membunuhku sejak saat itu. Ia tidak ingin harta ayah berada di tanganku. Aku melarikan diri dari rumah. Tampaknya a menyuruh dua orang bayaran untuk membunuhku. Aku terus berlari untuk menghindarinya. Tapi kurasa tenagaku tidak cukup untuk menandingi larinya. Aku menoleh kebelakang. Mereka sudah dekat.
“Hai! Anak ingusan! Berhenti kau!,” teriak salah satu suruhan itu. Tampang mereka sangat mengerikan. Tampangnya sangat criminal.
Aku terus berlari. Ku tengok ke belakang, mereka sudah agak jauh.
Tapi betapa kagetnya aku ketika kurasa aku menabrak seseorang.
“Auh… maaf…,” ucapku dengan terengah – engah. Kulihat seorang gadis sebayaku. Ia sangat cantik. Terlihat ia begitu santai menatapku. Dengan rambut hitam terurai menambah cantiknya.
“Tidak apa – apa. Namaku Dewi. Kamu mau kemana?”
“Aku Sandra. Aku ingin di bunuh ibu tiriku. Dan sekarang ia mengirim dua orang suruhan untuk mengejarku,” ungkapku. Aku memegangi tangannya. Aku mungkin tampak hendak berlari.
“kamu hendak kemana?” tanyanya lagi. Aku terdiam.
“Ayo kita lewat sini saja!” ajaknya. Mungkin ia tahu perasaanku. Aku hanya dapat menurut mengikutinya.
“kamu santai saja,” tenangnya.
“Tapi bagaimana jika mereka mengejarku?” Aku cemas.
“tenanglah. Mungkin mereka belum mengenal daerah in.i”
Kami melewati sebuah jalan setapak.Aku sudah dapat tenang dan aku menceritakan semua yang ku alami. Ternyata ia juga enak diajak curhat dan ngobrol. Orangnya asyik.

***
Tak terasa kami sudah sampai diujung jalan setapak itu. Aku melihat jalan raya di sana.
“Kamu sudah tenang kan?” tanyanya. Aku melihat ke belakang. Dua orang suruhan itu tidak tampak.
“ Ya, terima kasih.”
Dia hanya menganggukan kepala seraya tersenyum.

Dia membalikkan badan meninggalkanku tanpa bicara sepatah katapun. Aku heran melihatnya. Mengapa ia kembali ke jalan setapaqk tadi?. Batinku. Aku memandangnya sampai ia tidak terlihat lagi tertutup enggokan jalan.

Aku pun membalikan badan ke arah jalan raya.
“Neng…,” Seorang tukang becak mengagetkanku.
“neng dari mana?” lanjutnya.
“Saya dari Desa Rabak, Mang,” ucapku.
“Neng bertemu dengan Dewi?”
“Ya, kok Mamang tahu?”
“Neng anak tiri ya?” tebaknya lagi. Aku menganggukan kepala. Aku heran mengapa ia tahu semuanya.
“Mengapa mamang tahu?” tanyaku penuh penasaran.
“Lihatlah jalan yang kamu lewati tadi!” suruhnya dengan mengacungkan jari telunjuknya. Aku menengoknya. Betap[a terkejutnya aku. Jalan yang aku lewati tadi adalah pemakaman. Kuburan berjejer – jejer disana.
“Dewi adalah anak yang baik. Dia korban pembunuhan ibu tiri. Ia akan membantu semua anak tiri yang kesulitan” jelas mamang tukang becak itu. “ kamu tahu kamu sudah berjalan berapa meter?” lanjutnya. Aku menggeleng tanda tidak tahu.
“sekitar 120 kilo,” ucapnya.
“Apa…?!” aku melongo. Mamang itu tak menghiraukan raut mukaku yang sangat heran.
“Sekarang Neng mau ke mana?”
“Saya tidak tahu.”. Aku mengeleng lemah.
“Kamu tinggal di rumah saya saja ya?” tanyanya.
“Tapi bagaimana kalau menyusahkan mamang?” Aklu enggan.
“ Tidak usah enggan pada saya.” Ucapnya. Aku tersenyum. Aku tinggal dirumahnya dan ia menganggapku sebagai anaknya. Dewi adalah sahabat setapakku, yang sesaat tapi penyelamat.